pdpmjepara.org- Kegiatan khutbah Jum’at di Masjid Al-Istiqomah Tahunan Jepara, tanggal 06 Mei 2022, bertepatan dengan 5 Syawal 1443 H., mempersiapkan regenerasi terus dilakukan dengan tujuan untuk mengasah ilmu dan memupuk mental agar menjadi hal yang biasa untuk tampil dihadapan orang banyak. Kali ini menghadirkan generasi muda, Ramzidhia Alifadhil Razaan, generasi penerus Masjid Al-Istiqomah Tahunan sebagai imam salat Jum’at sekaligus khatib khutbah Jum’atnya.
Dengan mengusung tema “ Mengukur Perubatan Ikhlas “, Ramzidhia Alifadhil Razaan, yang biasa dipanggil Fadhil, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang juga lulusan dari Pondok Pesantren Muhammadiyah Kudus, diawal khutbahnya mengajak para jamaah untuk selalu memanjatkan puji kepada Allah, Swt.” Segala puji bagi Allah pemilik langit dan bumi serta apa saja yang ada diantara keduanya. Dialah Allah yang mengetahui segala yang masuk kedalam bumi, dan apa yang keluar daripadanya. Allahlah yang mengetahui segala yang turun dari langit, dan apa yang naik kepadanya. Shalawat serta salam tak lelah senantiasa kita ucapkan kepada Muhammad Rasululalh saw, yang kepadanya umat manusia mengambil percontohan terbaik,” tuturnya.
Awal khutbahnya, Fadhil mengutip surat QS. Adz-Dzariat (52) ayat 56, bahwa Allah, Swt. berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Berdasar pada surat QS. Adz-Dzariat (52) ayat 56 tersebut, Ibadah yang dimaksud tersebut adalah ibadah yang ikhlas, sebagaimana dijelaskan pada QS. Al-Bayinah (98) : ayat 5 berikut :
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).
Ia menambahkan bahwa Ikhlas berarti beramal, beraktifitas, dan beribadah semata-mata hanya mengharap ridha Allah semata. Karena ikhlas berarti bekerja untuk Allah, maka sudah barang tentu setiap pekerjaan ia laksanakan dengan sebaik-baiknya, dengan etos kerja yang tinggi. Apabila mendapat upah dari hasil kerja, maka ia belanjakan kepada yang halal dan dengan cara yang halal pula.
Apakah mungkin orang yang beramal dengan ikhlas melaksanakan amalnya itu dengan asal-asalan? Jawabannya adalah tidak mungkin, karena lillah sama sekali bertentangan dengan asal-asalan.
Bekerja dengan etos kerja rendah hanya mungkin terjadi bila ia melakukan perkerjaannya itu dengan maksud yang fana, bila ia bekerja dengan maksud selain kepada Allah. Kepada kepala panitia kerja bakti misalnya, ia bekerja giat apabila dilihat saja.
Sedangkan ikhlas adalah bekerja untuk Allah. Karena sadar Allah maha melihat, maka ia tidak tidak membutuhkan perhatian manusia manapun. Karena tahu Allah maha hidup, tentu Allah akan selalu ada, berbeda dengan makhluk yang memiliki batas waktu di dunia. Karena Allah yang memberikan hidup, segala kenikmatan, dan fasilitas di dunia untuk manusia, tentu saja ia pun akan beramal dengan etos kerja yang tinggi sebagai tanda syukur.
Lagi pula, manusia mana yang berani terang-terangan bekerja untuk Allah tapi tidak mengerahkan segala kemampuan yang ia miliki? Niat ikhlas diiringi usaha yang sebaik-baiknya adalah dua ikatan yang tak dapat lepas dari hamba yang ikhlas.
Bagaimana dengan orang yang bekerja dan mendapatkan upah, seperti guru, dokter, dosen, apakah mereka tidak ikhlas? Takmir masjid dan pengurus ormas yang menjalankan tugasnya tanpa mendapat upah apakah otomatis ikhlas?
Upah tidak ada kaitannya dengan keikhlasan. Ikhlas atau tidak seseorang tergantung pada niat dan kualitas usahanya. Niat ikhlas dan usaha yang sebaik-baiknya adalah syarat terpenuhinya kriteria ikhlas. Pekerjaan sukarela bisa saja bernilai tidak ikhlas bila dilakukan dengan serampangan. Sebaliknya profesi yang mendatangkan upah, bisa saja bernilai ikhlas apabila dilakukan dengan niat ikhlas dan usaha yang sungguh-sungguh.
Kriteria selanjutnya adalah peruntukan hasil usaha. Seorang pedagang yang mendapat untung dari hasil jual belinya haruslah dibelanjakan kepada yang halal, dengan cara yang halal pula. Bila itu seorang pelajar, maka ilmunya itu ia manfaatkan bukan hanya untuk keuntungan diri sendiri, tapi juga memberi manfaat pada sesama.
Kebalikan dari ikhlas adalah riya. Riya dalam bahasa Arab berasal dari kata رأى – يرى yang berarti melihat. Sehingga Riya memiliki arti beramal karena ingin dilihat oleh orang lain. Beramal karena ingin mendapat pujian, harta, jabatan, popularitas dan segala hal selain kepada Allah.
Riya menjadikan amal ibadah kehilangan nilai pahalanya di sisi Allah. Seperti tanah di atas batu yang sirna tersapu hujan. Hilang tidak membekas. Berlelah-lelah beribadah ternyata tidak ditemukan hasilnya saat hari perhitungan.
Sedangkan ikhlas bagaikan kebun subur di dataran tinggi. Apabila hujan lebat, maka bertambah subur tanamannya. Kalaupun hujan hanya sekedar gerimis saja, maka itupun sudah mencukupi kebutuhan tanaman untuk tumbuh dengan optimal.
Walaupun riya dapat menghilangkan nilai pahala dari amal yang dikerjakan, namun bukan berarti karena takut riya maka amal ibadah itu lebih baik tidak dilakukan saja. Kuncinya adalah kebiasaan. Bila sudah terbiasa melakukan suatu ibadah, maka perasaan riya itupun akan terus terkikis hingga tidak tersisa lagi.
بَارَكَ اللَّهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتُهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
Menutup khutbahnya, Fadhil berpesan kepada para jamaah untuk melakukan sesuatu dengan ikhlas tidaklah mudah, perlu dilatih dan butuh dibiasakan. Semoga kita selalu diberi kemudahan untuk terus belajar ikhlas dan dijauhkan dari riya’.
Kontributor : Muslim